Tak terasa setahun sudah Rian tak bertemu kedua orang tuanya. Ada kerinduan yang begitu membuncah di dalam relung kalbunya untuk memeluk kedua sosok yang telah membesarkannya tersebut. Tapi apalah daya, seandainya Rian bukan gay, mungkin hidup akan sedikit lebih ramah padanya dan Rian tak harus menerima penolakan dari kedua orang tua dan keluarganya.
Ah sudahlah, mungkin lebih baik seperti ini, sendiri dan bebas tak ada yang mengatur, tepisnya. Resahnya terhempas bersama hembusan asap rokok yang menggeliat menari2 di udara. Menciptakan sketsa abstrak serumit pikirannya saat itu. Senyum pahit terbesit di wajahnya yang tampan mengisyaratkan kepedihan yang tertahan sekian lama.
Deras hujan dan bau tanah basah dari luar menambah kerinduannya pada rumah.... Ya...rumah. Sebuah tempat dimana idealnya ada ruang bagi seorang insan untuk sekedar menyandarkan jiwanya yang lelah dan menyeka air matanya. Rian paham, ini hanyalah logika semu. Karna baginya, rumah tak ubahlah seperti ruang tahanan yang memenjarakan kebebasannya dan membelenggu idealismenya.
Toh semuanya telah ia lakukan untuk dapat membanggakan kedua orang tuanya namun semuanya sia2 karena di mata mereka Rian hanyalah gay. Dulu Rian sering bersabar dan berdoa supaya Tuhan meluluhkan hati orang tuanya agar mau menerimanya. Namun kini sendi-sendi keyakinannya yang dulu tegak berdiri tlah runtuh karna cinta yang diharapkannya tak kunjung tercurah.
Malam ini, Seperti
malam biasanya, sepulang kerja Rian hanya termenung sendiri di sudut kamar kosannya yang jauh dari kata nyaman. Matanya tertuju pada dinding kamar yang
kosong dan lembab. Tak ada lukisan indah ataupun perabot mahal yang menempel di dinding kamarnya. Hanya terlihat sebuah jendela usang yang dibiarkan sedikit terbuka. Mungkin akan ada sedikit udara atau keajaiban yang masuk dan mendinginkan hatinya
yang sedang panas.
Pikirannya menerawang jauh ke kegelapan malam
menembus riuhnya keramaian kota Jakarta yang gemerlap dan hedonis. Kemewahan yang tak bisa Rian rasakan setelah sekian lama berjuang di ibu kota tercinta ini. Cita-citanya yang begitu tinggi terpaksa harus ia simpan rapi sementara ini. Rian tak punya waktu memikirkan cita-cita, waktunya habis terbuang mencari uang untuk sekedar makan dan bayar kosan. Rian paham mungkin nasib belum berpihak padanya. Toh dia juga sudah terbiasa dengan kesepian dan kekurangan...namun yang membuat Rian merasa sedih adalah kepahitan yang ia terima selama bertahun-tahun dari orang2 yang dia kasihi dan masa lalu yang hingga kini masih menghantuinya...
Hujan belum juga berhenti. Rian terhenyak mendengar suara ketukan pintu. Siapa Bertamu malam2 hujan gini, pikirnya. Dengan penasaran rian pun bangkit dari lamunannya untuk membuka pintu. Mungkin itu pak kosnya yang datang dengan semangat 45 untuk memarahinya lagi karna memang seminggu sudah Rian terlambat membayar kosan. Biarlah, pikirnya...
Pintupun terbuka. Alangkah terkejutnya dia mendapati kedua orangtuanya berdiri di ambang pintunya dengan pakaian basah kuyup. Tanpa berkata apapun, ibunya langsung menangis dan memeluk erat Rian. 'Ibu, ayah, bagaimana kalian menemukan Rian?' Tuturnya terbata2 dengan lidahnya yang kelu. 'Rian, maafkan ibu telah mengusirmu Nak.. kamu pulang ya ama ayah dan ibu'. Rian tertegun bahagia seolah tak percaya dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Rianpun menangis bersama kedua orangtuanya 'Iya ibu, Rian pulang. Maafkan rian udah pergi ninggalin kalian. Rian janji akan semakin berbakti pada kalian'. Rianpun semakin erat memeluk kedua orangtuanya. Alangkah bahagianya ia ternyata doanya selama ini akhirnya terkabulkan juga, pikirnya.
Hujan semakin deras dan suara petir yang menggelegar membuat Rian terjaga...terjaga dari tidurnya yang lelap. Ya. Rian hanya bermimpi. Sebuah mimpi yang terus terulang dan mengusik batinnya. Sebuah mimpi yang selalu membuatnya berurai air mata. Sebuah mimpi yang tak kunjung jadi nyata dan hanya semakin memapahnya dalam ketiadaan. Rian benci setiap kali ia harus terbangun dengan tangan hampa tanpa ibu dan ayah dipelukannya. Terbangun dalam keharuan yang dalam dan terlempar ke sudut hatinya yang paling sepi dan dingin.
Rian menarik nafasnya berat dan dalam mencoba meredam sesak di dadanya. Rian sadar itu hanya mimpi. Tapi Rian bahagia walaupun itu tak nyata. Biarlah mimpi-mimpi itu terus menemaninya. Biarlah terus begini. Karna walaupun hanya dalam mimpi, setidaknya masih ada cinta untuknya. Cinta untuk Rian...
No comments:
Post a Comment