Friday, October 18, 2013
Thursday, October 17, 2013
Untuk yang tak kembali...
Wahai sahabat,
Bahagiakah kau disana?
Aku harap kau tak merasa sepertiku
kesepian bagai sungai kecil di dalam hutan
Kau pernah berpesan padaku:
'Jadilah cahaya lilin yang menerangi jiwa2 yang temaram'
'Jadilah jalan setapak bagi mereka yang tersesat'
'atau kasih yang menyentuh halus semua kerendahan dan ketidaklayakan'
Kau bilang:
Hidup tak selalu indah
dan perjuangan tak selalu berakhir dengan kemenangan
tapi bukankah keindahan hanyalah persepsi
dan kemenangan hanyalah bagi mereka yang berhenti
Aku memang tak setegar engkau
mampu menyulam senyum dengan benang kesederhanaan
semoga dalam tidur panjangmu kau temukan
kebahagiaan yang belum sempat ku berikan
*teruntuk bibiku tercinta yang telah pergi mendahuluiku
Bahagiakah kau disana?
Aku harap kau tak merasa sepertiku
kesepian bagai sungai kecil di dalam hutan
Kau pernah berpesan padaku:
'Jadilah cahaya lilin yang menerangi jiwa2 yang temaram'
'Jadilah jalan setapak bagi mereka yang tersesat'
'atau kasih yang menyentuh halus semua kerendahan dan ketidaklayakan'
Kau bilang: Hidup tak selalu indah
dan perjuangan tak selalu berakhir dengan kemenangan
tapi bukankah keindahan hanyalah persepsi
dan kemenangan hanyalah bagi mereka yang berhenti
Aku memang tak setegar engkau
mampu menyulam senyum dengan benang kesederhanaan
semoga dalam tidur panjangmu kau temukan
kebahagiaan yang belum sempat ku berikan
*teruntuk bibiku tercinta yang telah pergi mendahuluiku
Cinta untuk Rian
Tak terasa setahun sudah Rian tak bertemu kedua orang tuanya. Ada kerinduan yang begitu membuncah di dalam relung kalbunya untuk memeluk kedua sosok yang telah membesarkannya tersebut. Tapi apalah daya, seandainya Rian bukan gay, mungkin hidup akan sedikit lebih ramah padanya dan Rian tak harus menerima penolakan dari kedua orang tua dan keluarganya.
Ah sudahlah, mungkin lebih baik seperti ini, sendiri dan bebas tak ada yang mengatur, tepisnya. Resahnya terhempas bersama hembusan asap rokok yang menggeliat menari2 di udara. Menciptakan sketsa abstrak serumit pikirannya saat itu. Senyum pahit terbesit di wajahnya yang tampan mengisyaratkan kepedihan yang tertahan sekian lama.
Deras hujan dan bau tanah basah dari luar menambah kerinduannya pada rumah.... Ya...rumah. Sebuah tempat dimana idealnya ada ruang bagi seorang insan untuk sekedar menyandarkan jiwanya yang lelah dan menyeka air matanya. Rian paham, ini hanyalah logika semu. Karna baginya, rumah tak ubahlah seperti ruang tahanan yang memenjarakan kebebasannya dan membelenggu idealismenya.
Toh semuanya telah ia lakukan untuk dapat membanggakan kedua orang tuanya namun semuanya sia2 karena di mata mereka Rian hanyalah gay. Dulu Rian sering bersabar dan berdoa supaya Tuhan meluluhkan hati orang tuanya agar mau menerimanya. Namun kini sendi-sendi keyakinannya yang dulu tegak berdiri tlah runtuh karna cinta yang diharapkannya tak kunjung tercurah.
Malam ini, Seperti
malam biasanya, sepulang kerja Rian hanya termenung sendiri di sudut kamar kosannya yang jauh dari kata nyaman. Matanya tertuju pada dinding kamar yang
kosong dan lembab. Tak ada lukisan indah ataupun perabot mahal yang menempel di dinding kamarnya. Hanya terlihat sebuah jendela usang yang dibiarkan sedikit terbuka. Mungkin akan ada sedikit udara atau keajaiban yang masuk dan mendinginkan hatinya
yang sedang panas.
Pikirannya menerawang jauh ke kegelapan malam
menembus riuhnya keramaian kota Jakarta yang gemerlap dan hedonis. Kemewahan yang tak bisa Rian rasakan setelah sekian lama berjuang di ibu kota tercinta ini. Cita-citanya yang begitu tinggi terpaksa harus ia simpan rapi sementara ini. Rian tak punya waktu memikirkan cita-cita, waktunya habis terbuang mencari uang untuk sekedar makan dan bayar kosan. Rian paham mungkin nasib belum berpihak padanya. Toh dia juga sudah terbiasa dengan kesepian dan kekurangan...namun yang membuat Rian merasa sedih adalah kepahitan yang ia terima selama bertahun-tahun dari orang2 yang dia kasihi dan masa lalu yang hingga kini masih menghantuinya...
Hujan belum juga berhenti. Rian terhenyak mendengar suara ketukan pintu. Siapa Bertamu malam2 hujan gini, pikirnya. Dengan penasaran rian pun bangkit dari lamunannya untuk membuka pintu. Mungkin itu pak kosnya yang datang dengan semangat 45 untuk memarahinya lagi karna memang seminggu sudah Rian terlambat membayar kosan. Biarlah, pikirnya...
Pintupun terbuka. Alangkah terkejutnya dia mendapati kedua orangtuanya berdiri di ambang pintunya dengan pakaian basah kuyup. Tanpa berkata apapun, ibunya langsung menangis dan memeluk erat Rian. 'Ibu, ayah, bagaimana kalian menemukan Rian?' Tuturnya terbata2 dengan lidahnya yang kelu. 'Rian, maafkan ibu telah mengusirmu Nak.. kamu pulang ya ama ayah dan ibu'. Rian tertegun bahagia seolah tak percaya dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Rianpun menangis bersama kedua orangtuanya 'Iya ibu, Rian pulang. Maafkan rian udah pergi ninggalin kalian. Rian janji akan semakin berbakti pada kalian'. Rianpun semakin erat memeluk kedua orangtuanya. Alangkah bahagianya ia ternyata doanya selama ini akhirnya terkabulkan juga, pikirnya.
Hujan semakin deras dan suara petir yang menggelegar membuat Rian terjaga...terjaga dari tidurnya yang lelap. Ya. Rian hanya bermimpi. Sebuah mimpi yang terus terulang dan mengusik batinnya. Sebuah mimpi yang selalu membuatnya berurai air mata. Sebuah mimpi yang tak kunjung jadi nyata dan hanya semakin memapahnya dalam ketiadaan. Rian benci setiap kali ia harus terbangun dengan tangan hampa tanpa ibu dan ayah dipelukannya. Terbangun dalam keharuan yang dalam dan terlempar ke sudut hatinya yang paling sepi dan dingin.
Rian menarik nafasnya berat dan dalam mencoba meredam sesak di dadanya. Rian sadar itu hanya mimpi. Tapi Rian bahagia walaupun itu tak nyata. Biarlah mimpi-mimpi itu terus menemaninya. Biarlah terus begini. Karna walaupun hanya dalam mimpi, setidaknya masih ada cinta untuknya. Cinta untuk Rian...
Biarlah bebas...
Wahai jiwa yang sepi,
Menarilah bersama asa
tinggalkan sesalmu yang tlah rapuh dan renta
Biarkan hasratmu tetap muda
karna bebas itu tanpa usia dan tak menua
Jadilah dirimu
biarkan dunia mentertawakanmu
karna bahagia itu tak butuh persetujuan
Bernyanyilah dalam sepi
tertawalah bersama nasib
sebab bebas itu yatim piatu dan tak bertuan
Hempaskanlah cemas dalam harapmu
karna mimpi tak harus jadi nyata
karna bahagia adalah mensyukuri sekarang
Bernyanyilah dalam sepi
tertawalah bersama nasib
sebab bebas itu yatim piatu dan tak bertuan
Hempaskanlah cemas dalam harapmu
karna mimpi tak harus jadi nyata
karna bahagia adalah mensyukuri sekarang
Lepaskanlah beban yang menghimpit ruang kalbumu
Berdamailah dengan kenyataan
Tersenyumlah dan biarkan sinar mentari membelai lembut hampamu
Subscribe to:
Comments (Atom)
